KALA IBU PERTIWI BERDUKA
Hampir setiap waktu kita dikejutkan fakta miris
ketika warga negara yang berbeda agama, aliran, dan kepercayaan dibunuh,
diciderai, dan diusir dari tanah tumpah darahnya. Hampir tiap saat pula negara
dan aparatnya “diadili” lantaran dianggap gagal melindungi warga. Namun kasus
baru terus bermunculan. Apa yang salah dengan negeri ini?
Tak terhitung berapa banyak nyawa dan properti
menjadi korban tindak kekerasan dan anarki massa yang mengatasnamakan agama,
etnis, ras, dan daerah. Belum terdata sudah berapa banyak keluarga, termasuk
anak-anak dan perempuan, yang mengalami depresi hanya karena dianggap “sesat”
oleh orang-orang yang memposisikan diri mereka sebagai “Tuhan”. Juga tak
terhitung berapa banyak pidato telah diucapkan, wacana diperdebatkan, dan
solusi direkomendasikan. Akan tetapi semua itu tidak mampu dan belum pernah
bisa menghentikan tindak kekerasan dan anarki massa yang tengah mengancam
keberadaan negeri kita.
Hampir tidak satu pun parpol secara institusi yang
secara sportif menggugat cara negara menangani kasus tindak kekerasan dan
anarki yang mengatasnamakan agama. Kalaupun ada politisi dan anggota DPR
bersuara, pada umumnya bersifat individu. Juga, tidak ada usul pengajuan hak
interpelasi ataupun hak angket atas puluhan kasus serupa, padahal tindak
kekerasan dan anarki atas nama agama tak hanya terkait rasa aman, hak hidup,
dan keselamatan warga negara yang kebetulan minoritas, tetapi juga menyangkut
kelangsungan keberagaman kultural yang telah menjadi identitas sekaligus
fondasi bangsa kita.
Karena itu duka terdalam Ibu Pertiwi bukan
semata-mata lantaran kecenderungan pembiaran oleh negara telah bersifat
sistemik, melainkan juga karena parpol, parlemen, dan jajaran pemerintahan di
semua tingkat, menari-nari dan berpesta di atas penderitaan sebagian warga
negara yang tak berdosa. Para petinggi parpol, parlemen, dan pemerintahan
masing-masing sibuk mengurus politik sehari-hari yang seringkali dangkal dan
tanpa visi. Sebagian di antaranya bahkan bisa tidur nyenyak di tengah lolongan
panjang saudara kita yang kebetulan berbeda, yang menuntut perlakuan adil ,
setara, serta jaminan rasa aman dari negara.
Haruskah puluhan dan bahkan ratusan nyawa lainnya
menunggu giliran terbantai hanya karena mereka berbeda? Bukankah Tuhan, seperti
dinyatakan dalam Al Quran, menciptakan manusia berbeda-beda, berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal, bukan untuk menjadi serigala
ataupun monster bagi manusia lainnya?
Ironisnya, semua itu berlangsung di tengah perayaan
atas demokrasi, baik dalam bentuk melembaganya jaminan bagi hak-hak politik dan
kebebasan sipil, meluasnya partisipasi, maupun semakin intensnya pemilihan
langsung bagi setiap pejabat publik penyelenggara Negara. Semoga saja duka lara
ibu pertiwi cepat berlalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar