Selasa, 06 November 2012


KALA IBU PERTIWI BERDUKA

Hampir setiap waktu kita dikejutkan fakta miris ketika warga negara yang berbeda agama, aliran, dan kepercayaan dibunuh, diciderai, dan diusir dari tanah tumpah darahnya. Hampir tiap saat pula negara dan aparatnya “diadili” lantaran dianggap gagal melindungi warga. Namun kasus baru terus bermunculan. Apa yang salah dengan negeri ini?
Tak terhitung berapa banyak nyawa dan properti menjadi korban tindak kekerasan dan anarki massa yang mengatasnamakan agama, etnis, ras, dan daerah. Belum terdata sudah berapa banyak keluarga, termasuk anak-anak dan perempuan, yang mengalami depresi hanya karena dianggap “sesat” oleh orang-orang yang memposisikan diri mereka sebagai “Tuhan”. Juga tak terhitung berapa banyak pidato telah diucapkan, wacana diperdebatkan, dan solusi direkomendasikan. Akan tetapi semua itu tidak mampu dan belum pernah bisa menghentikan tindak kekerasan dan anarki massa yang tengah mengancam keberadaan negeri kita.
Hampir tidak satu pun parpol secara institusi yang secara sportif menggugat cara negara menangani kasus tindak kekerasan dan anarki yang mengatasnamakan agama. Kalaupun ada politisi dan anggota DPR bersuara, pada umumnya bersifat individu. Juga, tidak ada usul pengajuan hak interpelasi ataupun hak angket atas puluhan kasus serupa, padahal tindak kekerasan dan anarki atas nama agama tak hanya terkait rasa aman, hak hidup, dan keselamatan warga negara yang kebetulan minoritas, tetapi juga menyangkut kelangsungan keberagaman kultural yang telah menjadi identitas sekaligus fondasi bangsa kita.
Karena itu duka terdalam Ibu Pertiwi bukan semata-mata lantaran kecenderungan pembiaran oleh negara telah bersifat sistemik, melainkan juga karena parpol, parlemen, dan jajaran pemerintahan di semua tingkat, menari-nari dan berpesta di atas penderitaan sebagian warga negara yang tak berdosa. Para petinggi parpol, parlemen, dan pemerintahan masing-masing sibuk mengurus politik sehari-hari yang seringkali dangkal dan tanpa visi. Sebagian di antaranya bahkan bisa tidur nyenyak di tengah lolongan panjang saudara kita yang kebetulan berbeda, yang menuntut perlakuan adil , setara, serta jaminan rasa aman dari negara.
Haruskah puluhan dan bahkan ratusan nyawa lainnya menunggu giliran terbantai hanya karena mereka berbeda? Bukankah Tuhan, seperti dinyatakan dalam Al Quran, menciptakan manusia berbeda-beda, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal, bukan untuk menjadi serigala ataupun monster bagi manusia lainnya?
Ironisnya, semua itu berlangsung di tengah perayaan atas demokrasi, baik dalam bentuk melembaganya jaminan bagi hak-hak politik dan kebebasan sipil, meluasnya partisipasi, maupun semakin intensnya pemilihan langsung bagi setiap pejabat publik penyelenggara Negara. Semoga saja duka lara ibu pertiwi cepat berlalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar